Bangkinang – Persidangan sengketa kebun sawit antara PTPN IV Regional 3 (dulunya PTPN V) dan Koperasi Produsen Petani Sawit Mandiri (KOPPSA-M) semakin memanas setelah fakta mengejutkan terungkap dalam sidang terbaru di Pengadilan Negeri Bangkinang pada Selasa (11/2).
Sidang yang berlangsung hingga larut malam menghadirkan tiga saksi kunci dari pihak penggugat, yang semuanya merupakan mantan pegawai PTPN. Kesaksian mereka mengungkap berbagai permasalahan mendasar dalam pengelolaan kebun sawit, mulai dari infrastruktur yang belum rampung, beban utang yang kian menekan masyarakat, hingga dugaan kelalaian PTPN dalam perencanaan awal.
Kebun Sawit Belum Rampung, 100 Hektare Lahan Rawan Banjir
Komsel Matanari, mantan mandor kebun yang dihadirkan sebagai saksi, mengungkap bahwa pembangunan kebun sawit ternyata belum selesai sepenuhnya. Ia menyebut ada sekitar 100 hektare lahan yang sering terendam banjir hingga sepuluh kali dalam setahun akibat lokasinya yang terlalu dekat dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) Kampar.
Selain itu, fasilitas perkebunan juga disebut masih minim dan baru mulai dibangun setelah KOPPSA-M mengambil alih pengelolaan keuangan. “Sejak awal, banyak hal yang belum tuntas. PTPN seharusnya memastikan semuanya berjalan dengan baik,” ujar Komsel dalam persidangan.
Produktivitas Sawit Meningkat di Bawah KOPPSA-M
Saksi lainnya, Doah Barus, mantan asisten tanaman, menyoroti bahwa produktivitas kebun justru mencapai titik terbaiknya saat berada di bawah kepemimpinan Nusirwan di KOPPSA-M. Menurutnya, luas lahan produktif meningkat dari 600 hektare menjadi 800 hektare, dan seluruh biaya perbaikan ditanggung oleh KOPPSA-M tanpa kontribusi dari PTPN IV.
“Kalau tidak ada inisiatif dari koperasi, kebun ini mungkin masih terpuruk,” tegas Doah.
Beban Utang Meningkat, Petani Terjepit
Fakta lain yang terungkap dalam persidangan adalah beban keuangan yang semakin menekan masyarakat. Andri Ideawan, saksi di bidang keuangan, menjelaskan bahwa awalnya PTPN menginvestasikan Rp41 miliar dalam pembangunan kebun, ditambah dana pinjaman dari Bank Agro sebesar Rp38 miliar. Namun, kemudian PTPN mengalihkan pinjaman ke Bank Mandiri Cabang Palembang, yang menyebabkan bunga bank semakin membengkak.
Akibatnya, alokasi 30% keuntungan dari hasil kebun yang diperuntukkan untuk membayar cicilan utang ternyata tidak mencukupi karena rendahnya produktivitas awal kebun. “Ini jadi beban berat bagi masyarakat. Mereka harus menanggung kesalahan perencanaan yang bukan berasal dari mereka,” kata Andri.
Tokoh Masyarakat: "PTPN Harus Bertanggung Jawab"
Seorang tokoh masyarakat yang hadir dalam sidang menilai bahwa berbagai kegagalan dalam pengelolaan kebun ini berakar pada perencanaan yang lemah dari PTPN sejak awal. “Seharusnya, sebagai perusahaan besar, mereka bisa memperhitungkan segala risiko sejak awal. Sekarang, masyarakat yang menanggung dampaknya,” ujarnya.
Sidang ini menjadi babak baru dalam konflik berkepanjangan antara PTPN IV Regional 3 dan KOPPSA-M. Keputusan pengadilan dalam kasus ini akan sangat menentukan nasib ribuan petani sawit yang bergantung pada keberlanjutan kebun tersebut.
Akankah ada solusi dalam sengketa ini? Ataukah pertarungan hukum masih akan terus berlanjut? Publik menanti kejelasan dari kasus yang telah berlangsung bertahun-tahun ini.