Marak Wartawan Abal-Abal, PWI Riau Desak Revisi UU Pers: Kebebasan atau Ancaman?

Palukeadilannews.com

Pekanbaru – Fenomena wartawan abal-abal kian meresahkan. Kasus terbaru di Pelalawan, di mana sekelompok orang mengaku sebagai wartawan dan menghadang mobil warga, menjadi bukti bahwa profesi ini semakin disalahgunakan. Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau, Raja Isyam Azwar, pun angkat bicara dan mendesak revisi Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999.


"Profesi kita sebagai kontrol sosial justru dicoreng oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Saat ini, siapa saja bisa mengaku wartawan tanpa bekal kompetensi yang jelas," tegas Raja Isyam dalam acara diskusi "Ngopi Yukkk" di Media Center Polda Riau, Rabu (12/2).


Wartawan Abal-Abal: Antara Bisnis dan Ancaman


Kasus di Pelalawan hanyalah puncak gunung es. Banyak "media" bermunculan tanpa kejelasan legalitas dan kualitas jurnalistik. Fenomena ini merugikan masyarakat, bahkan mengancam profesi wartawan yang sesungguhnya.


Menurut Raja Isyam, wartawan sejati harus memahami Kode Etik Jurnalistik dan telah lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW). "Jangan hanya lihat medianya terdaftar atau tidak. Lihat juga, apakah wartawannya benar-benar kompeten?" ujarnya.


Sebagai langkah konkret, PWI Riau siap menindak tegas anggotanya yang melanggar kode etik. "Jika ada anggota kami terlibat dalam kasus seperti ini, kami tidak akan ragu mencabut keanggotaannya dan mengusulkan pencabutan sertifikat UKW ke Dewan Pers," tambahnya.


Dewan Pers: Wartawan Bukan Profesi Kebal Hukum


Ahli Pers Dewan Pers, Mario Abdillah Khair, menegaskan bahwa wartawan tidak kebal hukum. Jika ada yang melanggar, mereka tetap harus bertanggung jawab.


"Wartawan bukan tameng untuk melakukan tindak pidana. Jika ada yang mengaku wartawan tapi berperilaku kriminal, maka harus ditindak sesuai hukum yang berlaku," katanya.


Revisi UU Pers: Solusi atau Ancaman Kebebasan?


Wacana revisi UU Pers No. 40 Tahun 1999 kini menjadi perdebatan panas. Di satu sisi, regulasi yang lebih ketat dapat mempersempit ruang gerak wartawan abal-abal. Namun, di sisi lain, revisi yang tidak terkontrol bisa menjadi senjata untuk menekan kebebasan pers.


Apakah revisi UU Pers memang solusi tepat untuk memberantas wartawan abal-abal? Ataukah ada cara lain yang lebih efektif tanpa mengancam independensi jurnalis sejati?


Masyarakat, pers, dan pemerintah kini dihadapkan pada dilema besar: Menjaga kebebasan pers atau memperketat aturan demi kualitas jurnalistik?


 

Tags