Moskow – Ketegangan geopolitik meningkat setelah Rusia mengeluarkan peringatan keras kepada Australia terkait kemungkinan pengiriman pasukan ke Ukraina sebagai bagian dari misi penjaga perdamaian. Kedutaan Besar Rusia di Australia menyebut langkah tersebut akan membawa "konsekuensi serius" dan menegaskan bahwa kehadiran pasukan darat Barat di Ukraina adalah garis merah bagi Moskow.
"Bagi Australia, bergabung dengan apa yang disebut 'koalisi yang bersedia' akan menimbulkan konsekuensi serius," demikian pernyataan yang dikutip Australian Broadcasting Corporation (ABC).
Rusia juga membantah bahwa pernyataan ini adalah ancaman langsung, melainkan sebuah peringatan tegas agar Canberra tidak terlibat dalam "petualangan yang tidak bertanggung jawab" di wilayah konflik.
Pesan dari Kremlin: Perdamaian di Tangan Ukraina?
Sementara itu, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menekankan bahwa keputusan untuk berdamai ada di tangan Ukraina. Dalam konferensi pers, ia menyoroti bahwa perundingan AS-Ukraina yang akan digelar di Arab Saudi pekan ini tidak akan berarti banyak jika Ukraina sendiri tidak menunjukkan keinginan nyata untuk mengakhiri perang.
"Faktanya, ini mungkin yang ditunggu semua orang. Apakah anggota rezim [Presiden Volodymyr] Zelenskyy benar-benar menginginkan perdamaian atau tidak – ini sangat penting dan perlu diputuskan," ujar Peskov.
Strategi Inggris: Takut Rusia dan AS Membaik?
Di tengah panasnya situasi, badan intelijen luar negeri Rusia, SVR, mengklaim bahwa Inggris khawatir akan potensi membaiknya hubungan antara Washington dan Moskow. Menurut SVR, Inggris melihat dialog AS-Rusia sebagai ancaman bagi strateginya dalam "menahan" Rusia, dengan Ukraina sebagai elemen kunci dalam upaya tersebut.
"London khawatir hal ini akan menyebabkan kegagalan strategi Inggris untuk membendung Moskow," kata badan intelijen tersebut.
Ukraina Bersiap dengan 4,5 Juta Drone FPV
Di medan perang, Ukraina semakin mengandalkan teknologi dengan berencana membeli 4,5 juta drone pandangan orang pertama (FPV) pada tahun 2025—lebih dari dua kali lipat dari jumlah yang dibeli tahun lalu.
Direktur departemen kebijakan pengadaan Kementerian Pertahanan Ukraina, Hlib Kanevsky, menyatakan bahwa hampir seluruh drone FPV yang dibeli tahun lalu berasal dari produsen dalam negeri. Tahun ini, pemerintah akan mengalokasikan lebih dari $2,6 miliar untuk memperkuat armada drone tempur mereka.
"Industri pertahanan dalam negeri akan mampu memproduksi sekitar 4,5 juta drone FPV pada 2025, dan Kementerian Pertahanan berencana membeli semuanya," ungkap Kanevsky.
Drone FPV yang kecil dan murah ini dikendalikan oleh pilot di darat dan sering kali dipersenjatai dengan bahan peledak untuk menyerang sasaran dengan presisi tinggi.
Dunia di Persimpangan Jalan
Dengan eskalasi konflik yang terus meningkat, peringatan Rusia terhadap Australia menambah ketegangan di antara kekuatan global. Sementara itu, Ukraina bersiap menghadapi masa depan perang dengan mengandalkan teknologi drone. Apakah ini akan menjadi awal dari babak baru dalam konflik yang belum menunjukkan tanda-tanda berakhir?
Dunia kini menunggu—akankah diplomasi menang, atau perang semakin berkobar?